Banyak
Manfaat untuk Kesehatan
Selain sebagai
penghasil madu dengan kualitas bagus, pulau Sumbawa juga memiliki susu kuda
liar. Penghasil susu kuda liar di pulau ini terdapat antara lain di daerah Saneo
Dompu, Tolonggeru Donggo dan Wera Bima, juga Tepal Sumbawa dan beberapa tempat
lain di gugusan pegunungan pulau Sumbawa. Susu kuda liar sangat dikenal bahkan
telah menjadi “mitos” untuk vitalitas, terutama bagi kaum laki-laki. Apa
sebenarnya yang terkandung dalam susu kuda liar tersebut sehingga mitos ini
demikian lekat?
“Seribu satu misteri
masih bisa dikuak dari susu kuda liar,” ujar DR. Diana Herawati, salah seorang peneliti
susu kuda liar yang memfokuskan diri meneliti susu kuda di Desa Saneo Dompu.
Desa
Saneo, dengan penduduknya yang ramah dan bersahaja, berada di bagian Utara Kota
Dompu. Desa ini menjadi salah satu penghasil susu kuda liar berkualitas. Sebagian
besar masyarakat di desa ini bermatapencaharian dari produk alami susu kuda
mengingat masyarakat di daerah ini, tidak banyak yang berusaha di bidang pertanian.
Bahkan, para peternak kuda di Saneo telah membentuk sebuah kelompok yang
disebut Kelompok Hidup Bersama. Dalam kelompok yang beranggotakan lebih-kurang 50
peternak yang rata-rata memiliki 1-2 ekor kuda inilah, mereka mengelola usaha
susu kuda liar. “Masyarakat di sini mampu menyekolahkan anak-anak mereka dari
hasil usaha susu kuda dan madu,” ujar Arifin, ketua kelompok tersebut.
Giatnya masyarakat
Saneo terutama kelompok ini dalam usaha susu kuda liar yang telah berlangsung
puluhan tahun, membuat Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian,
Departemen Pertanian RI, memberikan penghargaan bagi kelompok ini berupa Penghargaan
Ketahanan Pangan Tingkat Nasional Tahun 2009, bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Pertanian kategori Pelaku Usaha Penerapan
Jaminan Mutu Peternakan, yang diserahkan langsung oleh Wakil Presiden RI,
Boediono, di Istana Wakil Presiden Jakarta.
Sebelumnya, kuda-kuda di
kampung ini tidak disadari memiliki potensi ekonomi lebih bagi masyarakat.
Kuda-kuda mereka hanya dipergunakan untuk membantu warga mengangkut kayu dan hasil
bumi serta dipakai sebagai alat transportasi ke ladang-ladang di sekitar
perbukitan Saneo. Sekitar lima belas tahun belakangan, susu kuda mulai
dikonsumsi sendiri oleh masyarakat Saneo dan tidak untuk dijual. Setelah itu baru
disadari bahwa susu kuda bernilai ekonomis. Maka para peternak mulai menjual susu
kuda tersebut, namun pemasarannya masih dilakukan sendiri-sendiri sehingga
harganya tidak tetap.
Hal ini membuat para
peternak berpikir untuk kemudian bergabung dalam satu kelompok agar bisa melakukan
pemasaran bersama-sama. Hal ini dilakukan karena, suatu kali, cerita Arifin dan
peternak lain di Saneo, saat mereka menjual susu kuda tersebut, ternyata kemudian
diperbanyak dengan cara dipalsukan oleh pihak lain. Bagi para peternak, hal ini
tidaklah membuat usaha mereka bisa berkembang dengan baik. Hingga suatu hari, tepatnya
di tahun 2004, seorang peneliti dari Departemen Pertanian RI, Diana Hermawati, datang
ke Saneo untuk meneliti khasiat yang terkandung dalam susu kuda liar. Dan atas prakarsa
Diana, pada tahun 2005 kelompok peternak kuda liar “Hidup Bersama” ini pun
terbentuk, sekaligus untuk menghindari pemalsuan susu kuda liar.
Dari hasil penelitian terhadap
susu kuda liar ini, kata Diana, terdapat bakteri yang bermanfaat bagi kesehatan
masyarakat. “Susu kuda sangat baik karena mengandung 11 anti bakteri yang bisa
membunuh berbagai bakteri penyebab penyakit antara lain, Typus, TBC-penyakit
paru, asma dan penyakit saluran pernafasan lainnya,” ujarnya. Dari 2000 sampel susu
kuda di Saneo yang diambil dari individu ternak yang diidentifikasi mengandung antimikroba
yang sangat kuat, ujarnya. Dan anti mikroba dalam susu kuda dapat menekan laju
perkembangan sel kanker, lanjutnya. Juga dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan
vitalitas.
Hasil ini didapat
setelah meneliti sampel susu kuda yang stabil dan terus menerus di Saneo Dompu.
Sebelumnya, di beberapa daerah, Diana juga pernah melakukan penelitian serupa
namun tidak bisa mendapatkan sampel susu kuda yang stabil dan kontinyu sehingga
beberapa kali penelitian yang dilakukannya gagal. “Perlu sampel yang stabil dan
terus menerus selama jangka waktu tertentu baru bisa didapat hasil tersebut,”
kata Diana yang menghabiskan biaya sekitar Rp 1,1 Milyar untuk melakukan
penelitian susu kuda di berbagai daerah ini.
Susu kuda biasanya disebut
dengan susu kuda liar. Tidak berbeda memang. Hanya saja penyebutan “liar” pada
susu kuda memberikan arti yang semakin menguatkan khasiatnya. Padahal, disebut
susu kuda liar karena kuda-kuda jinak tersebut kesehariannya memang dibiarkan liar
di perbukitan terdekat dengan perkampungan warga. Namun ketika masa pemerahan
susu, kuda-kuda biasanya dibawa kembali ke kandangnya masing-masing.
Kelebihan susu yang dihasilkan
dari kuda-kuda di Saneo adalah dibiarkan atau dilepas liar pada lahan organik seluas
lebih-kurang 100 hektar are di perbukitan dekat Saneo. Lahan seluas ini telah
diteliti dan dijaga kealamiannya sejak beberapa tahun lalu. Kuda-kuda ini
dilepas pada kawasan tersebut tanpa diikat dan tidak boleh disuntik dengan
jenis obat apa pun.
Bahkan lokasi pelepasan
kuda-kuda di kawasan ini, terus dijaga karena harus bebas dari residu logam
berat seperti pestisida dan lainnya sehingga tanaman sebagai makanan kuda
tumbuh sebagai bahan makanan organik bagi kuda. Kawasan pelepasan kuda juga jauh
dari pemukiman penduduk dan polusi. Bahkan jika kuda sakit tidak boleh diobati
dengan obat-obatan yang mengandung bahan kimia. “Sejauh ini, para peternak masih
terus mempertahankan hal ini,” kata Arifin.
Susu kuda bukan hanya dikonsumsi
sebagai bahan minuman melainkan juga berkhasiat baik bagi kulit karena
mengandung gula gulin, protein yang bagus, ujar Diana. Anti mikroba yang
terkandung dalam susu kuda juga sangat baik untuk regenerasi sel kulit dan juga
menghilangkan jerawat.
Karena itu, produk-produk
kecantikan berbahan dasar susu kuda mulai dikembangkan seperti, night cream, moisturizer, sabun mandi, sabun muka, body lotion, shampoo dan
lain-lain. Produk kosmetik yang dihasilkan dari susu kuda ini telah diuji
selama dua tahun dan sebelum dilepas ke pasaran, telah dua tahun pula dilakukan
testimoni terlebih dahulu pada pemakai, ujar Diana.
Dibiarkan
Liar di Alam
Di
Pulau Sumbawa, ternak-ternak seperti sapi dan kuda tidak dipelihara khusus dalam
kandang-kandang oleh peternaknya, melainkan dilepas di perbukitan. Cara beternak
seperti ini di Bima dan Dompu dikenal dengan nama so dan di Sumbawa disebut lar.
Berbeda dengan di Lombok yang pemeliharaan ternaknya dilakukan di
kandang-kandang khusus. Ada juga yang beternak dengan cara merawat bersama-sama
dalam satu lokasi kandang bersama. Cara beternak seperti ini di Lombok dikenal
dengan nama Kandang Kumpul, terutama untuk sapi.
Maka
tidak heran, ketika melewati jalan sepanjang Pulau Sumbawa dari Poto Tano
hingga Sape, dapat dijumpai sekumpulan ternak-ternak seperti sapi dan kuda yang
sepertinya “hidup liar” tanpa pengawasan pemiliknya. Demikian juga dengan
kuda-kuda di Saneo yang susunya sengaja diprodusir khusus untuk dikonsumsi.
Kebiasaan melepas kuda secara liar di Pulau Sumbawa sudah berlangsung secara
turun temurun. Sejauh ini, para peternak mengaku tidak kesulitan menemukan ternak-ternak
peliharaannya ketika dicari dan tetap dalam kondisi aman, kata Arifin dan
peternak lain.
Kuda-kuda
yang bisa dimanfaatkan susunya memang dipelihara secara liar di alam bebas
ketika mulai berusia enam bulan untuk dibiarkan kawin secara alami.
Berbulan-bulan kuda-kuda ini hidup liar di alam, tanpa dipelihara oleh
pemiliknya. Kuda makan apa saja yang ada di alam. Pemiliknya hanya sesekali datang
untuk melihat ternak-ternak ini. Para peternak masing-masing telah mengenal dengan
baik ternak-ternak mereka sehingga sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah
terjadi, kata Arifin, mereka ribut soal ternak yang tertukar. Hebatnya lagi, kuda-kuda
ini sangat mengenal pemiliknya. Begitu para pemiliknya datang ke perbukitan dan
memanggil dengan cara masing-masing, maka kuda-kuda ini datang berkumpul dengan
jinaknya. Bahkan pada saat-saat tertentu, kuda-kuda ini bisa pulang ke kandang dengan
sendirinya.
Pada
saat-saat tertentu, para pemilik ternak ini, memeriksa kondisi kuda-kudanya. Jika
diketahui ada yang bunting, maka akan terus dipantau namun tetap dibiarkan liar
hingga beranak di alam bebas. Setelah kuda beranak, maka diberikan kesempatan untuk
menyusui anak-anaknya selama dua bulan. “Susu kuda tidak langsung diperah
setelah beranak, melainkan dua bulan setelah menyusui anaknya,” kata Arifin.
Ini dilakukan untuk memberikan kesempatan pada si anak kuda agar bisa menyusu pada
induknya. Tentu saja agar anak kuda dapat berkembang dengan baik dan sehat.
Setelah
masa menyusui anak kuda selama dua bulan, barulah susu diperah untuk dikonsumsi
hingga enam bulan ke depan sebelum kuda-kuda betina ini bunting lagi. Selama masa
pemerahan susu, kuda masih dibiarkan liar di alam bersama anaknya. Para
peternak hanya akan memerah susu kuda ketika ada permintaan pasar. Saat hendak diperah,
kuda-kuda ini dibawa ke kandang bersama anaknya. Sebelum susu diperah, induk
kuda dipisah dengan anaknya selama satu sampai dua jam untuk membiarkan produksi
susu kuda melimpah sebelum diperah.
Dalam
sekali pemerahan susu kuda yang dihasilkan sebanyak lebih kurang satu botol
ukuran 625 ml. Setelah pemerahan dilakukan, maka induk kuda dibiarkan lagi selama
tiga jam untuk memberikan kesempatan kepada anak kuda untuk menyusui. Demikian
seterusnya hingga tiga kali pemerahan dalam sehari. “Dalam sehari, seekor kuda
akan menghasilkan susu kuda sebanyak tiga botol,” katanya. Pada masa beranak yang
kedua, biasanya produksi susu kuda menjadi semakin banyak, 4-5 botol dalam
sehari.
Setelah
pemerahan dilakukan, susu kuda disaring kemudian dimasukkan dalam botol dan
ditutup rapat. “Susu kuda dapat bertahan selama lima hingga enam bulan tanpa
pengawet,” kata Arifin. Menurut warga Saneo yang selama ini biasa mengkonsumsi susu
kuda, semakin lama susu kuda rasanya semakin asam dan khasiatnya dirasakan semakin
bagus. Satu induk kuda dapat melahirkan hingga 10 kali dalam jangka waktu 10
tahun. Setelah usia kuda tua, biasanya akan dijual untuk dikonsumsi dagingnya.
Susu
kuda Saneo, dikembangkan menjadi susu kuda organik. Oleh karena itu segala hal
menyangkut pemeliharaan kuda, termasuk makanannya dijaga benar yang berasal
dari bahan-bahan organik. Wadah tempat menampung perahan susu kuda bebas dari hal-hal
berbau kimia, misalnya tidak boleh dicuci menggunakan sabun atau deterjen melainkan
pembersihannya dilakukan dengan air panas. Demikian juga meja dan media lain di
sekitar tempat memprodusir susu kuda ini, seperti meja-meja, dinding dan lantai
tidak boleh dicat.
Untuk mendapatkan susu
kuda Saneo yang organik, sebelumnya harus melewati uji standar mutu yang dilakukan
di laboratorium yang difasilitasi oleh Diana. Diana biasanya membeli susu-susu
kuda ini untuk diuji standar mutunya untuk mendapatkan sertifikasi organiknya. Susu
kuda liar organik bisa diperoleh setelah melewati uji standar mutu dan mendapatkan
sertifikasi organik.
Di Saneo, susu kuda liar
tidak distok dalam jumlah banyak dalam botol-botol meskipun bisa bertahan lama,
melainkan persediaan langsung pada kuda-kuda yang dilepas liar di alam. “Saat
ada permintaan pasar barulah susu kuda kami perah,” ujar Arifin. Susu kuda
Saneo, banyak mendapat permintaan dari berbagai daerah seperti Mataram, Batam,
Bandung, Jawa Tengah, Jakarta dan lainnya.
Usaha susu kuda liar di
desa Saneo tampaknya semakin berkembang. Masyarakat di sana telah menjadikan usaha
ini sebagai mata pencaharian. Harga seekor induk kuda beserta ankanya yang siap
diperah berkisar di atas Rp 6 juta – Rp 7 juta. Satu ekor anak kuda biasanya seharga
di atas Rp 2-3 juta. Menurut Arifin, minat masyarakat Saneo untuk menjadikan susu
kuda liar sebagai mata pencaharian, saat ini cukup besar. Ini tidak lepas dari
semakin banyaknya permintaan pasar pada susu yang memiliki protein tinggi ini. “Bahkan
kami sering tidak mampu memenuhi permintaan pasar,” ujarnya. Karena itu, ke
depannya kelompok ini berencana untuk meningkatkan produksi susu kuda liar dan membuat
lokasi pemerahan dengan standar keamanan produk yang lebih baik lagi.
Sumber Informasi: Raden Gurantang
0 komentar:
Posting Komentar