PENDAHULUAN
Bebicara
mengenai sistem perekonomian di suatu negara merupakan perdebatan panjang yang
sampai saat ini belum memiliki titik temu yang sesuai dengan keinginan,
perdebatan menjadi panjang dikarenakan setiap negara yang ada di dunia ini
memiliki aturan main, perilaku dan sumberdaya yang berbeda. Jika kita melihat
beberapa negara di dunia, berbagai jenis sistem ekonomi telah diterapakan, namun
sampai saat ini hasil dari penerapan sistem itu masih terdapat kegagalan yang
sanagt sulit di cari solusinya.
Tidak
bisa dipungkiri Indonesia sebagai negara besar juga mengikuti sistem yang
diadopsi dari negara-negara barat, padahal jika kita melihat kondisi Indonesia
mulai dari struktur kehidupan, budaya, demografi, sikologis dan sejarah sudah
jelas berbeda dengan negara tempat dianutnya sistem ekonomi yang diterapakan.
Berawal dari inilah penulis mencoba mencari titik temu dari permasalahn yang
dihadapi bangsa ini, kira-kira sistem ekonomi apa yang tepat untuk di terapakan
di negara Indonesia, akankah kita akan selalau mengikuti atauran main yang ada
di negara lain, atau justru kita mampu menciptakan aturan main sendiri (bermain
dinegeri sendiri,menjadi wasit dan
menjadi pemenang di negeri sendiri).
Dalam menganalisis masalah ini penulis
melakukan kajian literatur dari berbagai sumber, berdiskusi dengan para pakar
yang akhirnya penulis menemukan sitem ekonomi yang menurut penulis sendiri
tepat untuk diterapkan di Indonesia yaitu
sistem ekonomi kerakyatan yang dalam hal ini penulis menggunakan pendekatan ekonomi kelembagaan yang berpijak
pada sistem nilai, sosial-budaya, dan kehidupan ekonomi riil (real-life
economy) masyarakat Indonesia.
PEMBAHASAN
Munculnya
Ekonomi Kelembagaan (Institutional Economics)
merupakan reaksi dari rasa ketidakpuasan terhadap aliran Neoklasik, yang
sebenarnya merupakan kelanjutan dari
aliran ekonomi klasik. Menurut Hasibun (2003) inti pokok aliran ekonomi
kelembagaan adalah melihat ilmu ekonomi dengan satu kesatuan ilmu sosial,
seperti psikologi, sosiologi, politik, antropologi, sejarah dan hukum.
Landreth
dan Colandar (1994) membagi para tokoh ekonomi aliran kelembagaan dalam tiga
golongan, yaitu tradisional, quasi
dan neo. Yustika (2006) membagi aliran Kelembagaan dalam ilmu ekonomi
kelembagaan lama (old institutional
economics) dan ilmu ekonomi kelembagaan baru (new institutional Economics). Mengkombinasikan dari kedua pandangan
tersebut, pertama akan dikemukakan aliran ekonomi kelembagaan lama, kedua quasi dan aliaran ekonomi kelembagaan
baru.
1. Aliran
Kelembagaan Lama
Bapak Ekonomi kelembagaan yang disetujui
oleh para pakar adalah Thorestein Bunde Veblen (1857-1929). Krirtik Veblen
sangat tajam terhadap ekonomi ortodoks, dimana pengertian ekonomi ortodoks adalah
pemikiran-pemikiran yang menggunakan dan melanjutkan ekonomi Klasik seperti
persaingan bebas, persaingan sempurna, manusia adalah rasional, motivasi
memaksimalkan keuntungan dan meminimasi pengeorbanan ekonomi. Menurut Veblen
teori ekonomi ortodoks merupakan teori teologi, oleh karena akhir cerita telah
ditentukan dari awal. Misalnya, keseimbangan jangka panjang itu tidak pernah
dibuktikan, tetapi telah ditentukan walaupun ceritanya belum dimulai. Ilmu
ekonomi bukan hanya mempelajari tingkat harga, alokasi sumber-sumber tetapi
justru mempelajari faktor-faktor yang dianggap tetap (given).
Salah seorang tokoh ekonomi kelembagaan
dari inggris yang penting adalah John A. Hobson (1858-1940). Menurutnya, ada
tiga kelemahan toeri ekonomi ortodoks, yaitu tidak dapat menyelesaikan maslah full-employment, distribusi pendapatan
yang senjang dan pasar bukan ukuran terbaik untuk menentukan ongkos sosial.
Beliau tidak setuju adanya unsur ekonomi positif dan normatif karena keduanya
tetap memerlukan adanya unsur etika. Timbulnya Imprealsime menurut Hobsoan
disebabkan karena terjadinya konsumsi yang kurang dan kelebihan tabungan di dalam
negeri, maka diperlukan penanaman modal ke daerah-daerah jajahan. Pengeluaran
pemerintah dan pajak dapat mendorong ekonomi ke arah full-employment dan peningkatan pendapatan pekerja dan
produktivitas. Dengan semakin meratanya pembagian pendapatan akan mendorong
peningkatan produktivitas, yang berarti bisa terhindar dari bahaya adanya
resesi.
2. Aliran
Quasai Kelembagaan
Para
tokoh yang masuk di dalam aliran ini adalah mereka yang terpengaruh oleh
pemikiran veblen dan kawan-kawannya, para tokoh aliran ini antara lain Joseph
Schumpeter, Gunnar Myrdal, dan kenneth Galbraith. Pemikiran schumpeter bertumpu
pada ekonomi jangka panjang, yang terlihat dalam analisisnya baik mengenai
terjadinya inovasi komoditi baru, maupun dalam mejelaskan terjadinya siklus
ekonomi. Keseimbangan ekonomi yang statis dan stasioner seperti konsep kaum
ortodoks mengalami gangguan dengan adanya inovasi, Meskipun demikian, gangguan
tersebut dalam rangka berusaha mencari keseimbangan yang baru. Inovasi tidak
bisa berlanjut kalau kaum wirasawata telah terjebak dalam persoalan-persoalan
yang sifatnya rutin.
Sedangkan Galbraith menjelaskan
perkembangan ekonomi kapitalis di Amerika serikat yang tidak sesuai dengan
perkiraan (prediksi) yang dikemukakan kaum ekonomi ortodoks. Asumsi-asumsi yang
dikemukakan oleh teori ekonomi ortodoks dalam kenyataannya melenceng jauh
sekali. Keberadaan pasar persaingan sempurna tidak ada, bahkan pasar telah
dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan-perusahaan ini demikian
besar kekuasaanya sehingga selera konsumen bisa diaturnya.
Pada perusahaan yang besar ini, pemilik
modal terpisah dengan manajer profesional dan para manajer ini telah menjadi technostrusture masyarakat. Konsumsi
masyarakat telah menjadi demikian tinggi, tetapi sebaliknya terjadi pencemaran
lingkungan dan kwalitas barang-barang swasta tidak dapat diimbangi oleh
barang-barang publik. Selanjutnya kekuatan-kekuatan perusahaan besar dikontrol
oleh kekuatan buruh, pemerintah dan lembaga-lembaga konsumen. Namun demikian,
untuk menjamin keberlanjutan perusahan-perusahaan ini, maka pemerintah
hendaknya berfungsi untuk menstabilkan perkembangan ekonomi.
3. Aliran
Kelembagaan Baru
Aliran Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional Economics disingkat
NIE) dimulai pada tahun-tahun 1930-an dengan ide dari penulis yang
berbeda-beda. Menurut Yustika (2006), pada tahun-tahun terakhir ini terjadi
kesamaan ide yang mereka usung dan kemudian dipertimbangkan menjadi satu payung
yang bernama NIE. Secara garis besar, NIE sendiri merupakan upaya ‘perlawanan’ terhadap dan sekaligus
pengembangan ide ekonomi Neoklasik, meskipun tetap saja dapat terpengaruh oleh
ideologi dan politik yang ada pada masing-masing para pemikir.
NIE dengan demikian menempatkan dirinya
sebagai pembangun teori kelembagaan nonpasar dengan fondasi teori ekonomi
Neoklasik. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu tokoh NIE Douglas C. North,
bahwa NIE masih menggunakan dan menerima asumsi dasar dari ekonomi Neoklasik
mengenai kelangkaan dan kompetisi akan tetapi meninggalkan asumsi rasionalitas
instrumental (instrumental rasionality).
Oleh karena ekonomi Neoklasik memaki asumsi tersebut menyebabkan menjadi teori
yang bebas kelembagaan (institutional-free
theory).
NIE selanjutnya memperdalam kajiannya
tentang kelembagaan nonpasar, seperti hak kepemilikan, kontrak, partai
revolutioner dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena sering terjadi masalah kegagalan
pasar (market failure). Kegagalan
pasar muncul karena terjadinya asimetris informasi, eksternalitas produksi (production externality) dan adanya
kenyataan keberadaan barang-barang-barang publik (publik goods). Akibat kealpaan teori ekonomi Neoklasik terhadap
adanya kegagalan pasar, maka dilupakan pula adanya kenyataan pentingnya
biaya-biaya transaksi (transaction cost).
Di samping itu NIE menambah bahasannya tentang terjadinya kegagalan kelembagaan
(institutional failure) sebagai
penyebab terjadinya keterbelakangan pada banyak negara.
Dengan
demikian, ilmu ekonomi kelembagaan kemudian menjadi bagian dari ilmu ekonomi
yang cukup penting peranannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan sosial
ekonomi, budaya dan terutama ekonomi politik. Ilmu ekonomi kelembagaan terus
berkembang semakin dalam karena ditekuni oleh banyak ahli ilmu ekonomi dan ilmu
sosial lainnya, termasuk beberapa diantaranya memenangkan hadiah nobel.
Penghargaan tersebut tidak hanya tertuju langsung kepada ahli dan orangnya,
tetapi juga pada bidang keilmuannya, yakni ilmu ekonomi kelembagaan (Rachbini,
2002).
Para penganut
ekonomi kelembagaan percaya bahwa pendekatan multidisipliner sangat penting
untuk memotret masalah-masalah ekonomi, seperti aspek sosial, hukum, politik,
budaya, dan yang lain sebagai satu kesatuan analisis (Yustika, 2008: 55). Oleh
karena itu, untuk mendekati gejala ekonomi maka, pendekatan ekonomi kelembagaan
menggunakan metode kualitatif yang dibangun dari tiga premis penting yaitu:
partikular, subyektif dan, nonprediktif.
Pertama, partikular dimaknai
sebagai heterogenitas karakteristik dalam masyarakat. Artinya setiap fenomena
sosial selalu spesifik merujuk pada kondisi sosial tertentu (dan tidak berlaku
untuk kondisi sosial yang lain). Lewat premis partikularitas tersebut,
sebetulnya penelitian kualitatif langsung berbicara dua hal: (1) keyakinan
bahwa fenomena sosial tidaklah tunggal; dan (2) penelitian kualitatif secara
rendah hati telah memproklamasikan keterbatasannya (Yustika, 2008: 69).
Kedua, yang dimaksud
dengan subyektif disini sesungguhnya bukan berarti peneliti melakukan
penelitian secara subyektif tetapi realitas atau fenomena sosial. Karena itu
lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber data,
dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang “orang
dalam” dalam antropologi disebut dengan emic.
Ketiga, nonprediktif
ialah bahwa dalam paradigma penelitian kualitatif sama sekali tidak masuk ke
wilayah prediksi kedepan, tetapi yang ditekankan disini ialah bagaimana
pemaknaan, konsep, definisi, karakteristik, metafora, simbol, dan deskripsi
atas sesuatu. Jadi titik tekannya adalah menjelaskan secara utuh proses dibalik
sebuah fenomena.
Ekonomi Kelembagaan Di Indonesia
Perkembangan
pemikiran ekonomi di Barat turut mempengaruhi studi-studi ekonomi di Indonesia.
Beberapa sarjana-sarjana Indonesia lulusan sekolah Barat yang menaruh perhatian
terhadap gagasan ini dapat dilacak misalnya, Mubyarto, dengan pemikirannya
tentang pengembangan ilmu dan pendidikan ekonomi alternatif yang berpijak pada
sistem nilai, sosial-budaya, dan kehidupan ekonomi riil (real-life economy)
masyarakat Indonesia. Lincolin Arsyad (2005) dalam penelitiannya Assessing
the Performance and Sustainability of Microfinance Institution: The Case of
Village Credit Institution of Bali menemukan kinerja Lembaga Perkreditan
Desa (LPD) di Gianyar, Bali dipengaruhi oleh kelembagaan yang meliputi lembaga
formal dan informal. Ia mencatat bahwa kelembagaan adat memberikan kontribusi
dalam kinerja portofolio, leverage, rasio kecukupan modal, produktivitas,
efisiensi, profitabilitas, dan kelayakan keuangan LPD.
Ahmad Erani
Yustika (2005) lulusan Georg-August-Universität Göttingen, Jerman dengan
disertasi Transaction Cost Economics of The Sugar Industry in Indonesia
dan juga buku teks “Ekonomi Kelembagaan: Defenisi, Teori, dan Strategi”
sehingga tidaklah berlebihan jika Yustika dikategorikan sebagai salah satu
pemikir ekonomi kelembagaan di tanah air.
Negara-negara
ataupun kawasan yang lebih makmur dewasa ini adalah yang memiliki kelembagaan
politik dan ekonomi lebih baik di masa lalu (Hall & Jones, 1999; dan
Acemoglu, et.al., 2001). Kemajuan China dan India dewasa ini, dengan segala
kekurangannya, bisa dijelaskan dari aspek kelembagaan ini. Juga negara-negara
di Asia yang paling dinamis.
Apalagi saat terjadi
gelombang krisis keuangan yang menerpa dunia saat ini dimana mainstream ekonomi
yang berpijak pada asumsi-asumsi ekonomi klasik membuat pendekatan ekonomi
klasik semakin dipertanyakan eksistensinya, karena itu studi ekonomi
kelembagaan semakin memperoleh tempat sebagai pendekatan alternatif bagi
ekonomi dunia saat ini. Dengan demikian diharapakan ekonomi kelembagaan dapat
menjadi eskalaotor perbaiakan ekonomi di Indonesia.
KESIMPULAN
Ekonomi klasik
yang mengasumsikan bahwa semua manusia adalah rasional dan bekerja berdasarkan
insentif ekonomi ternyata dalam prakteknya banyak faktor-faktor sosial, ekonomi
dan politik yang mempengaruhi individu dalam keputusan ekonominya. Pada titik
ini ekonomi kelembagaan masuk untuk mewartakan bahwa kegiatan ekonomi sangat
dipengaruhi oleh tata letak antarpelaku ekonomi (teori ekonomi politik), desain
aturan main (teori ekonomi biaya transaksi), norma dan keyakinan suatu
individu/komunitas (teori modal sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi
(teori tindakan kolektif), model kesepakatan yang dibikin (teori kontrak),
pilihan atas kepemilikan aset fisik maupun non fisik (teori hak kepemilikan),
dan lain-lain. Intinya, selalu ada insentif bagi individu untuk berperilaku
menyimpang sehingga sistem ekonomi tidak bisa dibiarkan hanya dipandu oleh
pasar.
Ekonomi
kelembagaan mempelajari dan berusaha memahami peranan kelembagaan dalam sistem
dan organisasi ekonomi atau sistem terkait, yang lebih luas. Kelembagaan yang
dipelajari biasanya bertumbuh spontan seiring dengan perjalanan waktu atau
kelembagaan yang sengaja dibuat oleh manusia. Peranan kelembagaan bersifat
penting dan strategis karena ternyata ada dan berfungsi di segala bidang
kehidupan.
Gelombang krisis keuangan yang menerpa dunia
saat ini dimana mainstream ekonomi yang berpijak pada asumsi-asumsi ekonomi
klasik membuat pendekatan ekonomi klasik semakin dipertanyakan eksistensinya,
karena itu studi ekonomi kelembagaan semakin memperoleh tempat sebagai
pendekatan alternatif bagi ekonomi dunia saat ini.
Dengan demikian
diharapakan ekonomi kelembagaan dapat menjadi eskalaotor perbaikan ekonomi di
Indonesia. Sistem ekonomi yang bertujuan mensejahterakan kehidupan rakyat, memberikan
kesempatan kepada rakyat untuk berproduktivitas sesuai dengan sumberdaya yang
dimiliki, dan akhirnya harapan para founding
fathers bangsa ini tercapai.
Referensi:
Yustika, Ahmad Erani. 2008.
Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi. Bayumedia. Malang.
Santosa, Purbayu Budi. 2008.
Relevansi dan Aplikasi Aliran Ekonomi Kelembagaan. Dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No.1, Juni 2008,hal.
46-60.
Awan
Sentosa, Ekonomi Kerakyatan Urgensi,
Konsep, dan Aplikasi, Sekra: 2010
Rachbini, Didik J. 2002. Ekonomi
Politik: Paradigma dan Teori Pilihan Publik. Ghalia. Jakarta.
http://icnie.org/
0 komentar:
Posting Komentar