Sabtu, 03 Maret 2012

PENDAHULUAN
Bebicara mengenai sistem perekonomian di suatu negara merupakan perdebatan panjang yang sampai saat ini belum memiliki titik temu yang sesuai dengan keinginan, perdebatan menjadi panjang dikarenakan setiap negara yang ada di dunia ini memiliki aturan main, perilaku dan sumberdaya yang berbeda. Jika kita melihat beberapa negara di dunia, berbagai jenis sistem ekonomi telah diterapakan, namun sampai saat ini hasil dari penerapan sistem itu masih terdapat kegagalan yang sanagt sulit di cari solusinya.

Tidak bisa dipungkiri Indonesia sebagai negara besar juga mengikuti sistem yang diadopsi dari negara-negara barat, padahal jika kita melihat kondisi Indonesia mulai dari struktur kehidupan, budaya, demografi, sikologis dan sejarah sudah jelas berbeda dengan negara tempat dianutnya sistem ekonomi yang diterapakan. Berawal dari inilah penulis mencoba mencari titik temu dari permasalahn yang dihadapi bangsa ini, kira-kira sistem ekonomi apa yang tepat untuk di terapakan di negara Indonesia, akankah kita akan selalau mengikuti atauran main yang ada di negara lain, atau justru kita mampu menciptakan aturan main sendiri (bermain dinegeri sendiri,menjadi wasit  dan menjadi pemenang di negeri sendiri).
 Dalam menganalisis masalah ini penulis melakukan kajian literatur dari berbagai sumber, berdiskusi dengan para pakar yang akhirnya penulis menemukan sitem ekonomi yang menurut penulis sendiri tepat untuk diterapkan di Indonesia yaitu  sistem ekonomi kerakyatan yang dalam hal ini penulis menggunakan  pendekatan ekonomi kelembagaan yang berpijak pada sistem nilai, sosial-budaya, dan kehidupan ekonomi riil (real-life economy) masyarakat Indonesia.


PEMBAHASAN
Munculnya Ekonomi Kelembagaan (Institutional Economics) merupakan reaksi dari rasa ketidakpuasan terhadap aliran Neoklasik, yang sebenarnya  merupakan kelanjutan dari aliran ekonomi klasik. Menurut Hasibun (2003) inti pokok aliran ekonomi kelembagaan adalah melihat ilmu ekonomi dengan satu kesatuan ilmu sosial, seperti psikologi, sosiologi, politik, antropologi, sejarah dan hukum.
Landreth dan Colandar (1994) membagi para tokoh ekonomi aliran kelembagaan dalam tiga golongan, yaitu tradisional, quasi dan neo. Yustika (2006) membagi  aliran Kelembagaan dalam ilmu ekonomi kelembagaan lama (old institutional economics) dan ilmu ekonomi kelembagaan baru (new institutional Economics). Mengkombinasikan dari kedua pandangan tersebut, pertama akan dikemukakan aliran ekonomi kelembagaan lama, kedua quasi dan aliaran ekonomi kelembagaan baru.
1.      Aliran Kelembagaan Lama
Bapak Ekonomi kelembagaan yang disetujui oleh para pakar adalah Thorestein Bunde Veblen (1857-1929). Krirtik Veblen sangat tajam terhadap ekonomi ortodoks, dimana pengertian ekonomi ortodoks adalah pemikiran-pemikiran yang menggunakan dan melanjutkan ekonomi Klasik seperti persaingan bebas, persaingan sempurna, manusia adalah rasional, motivasi memaksimalkan keuntungan dan meminimasi pengeorbanan ekonomi. Menurut Veblen teori ekonomi ortodoks merupakan teori teologi, oleh karena akhir cerita telah ditentukan dari awal. Misalnya, keseimbangan jangka panjang itu tidak pernah dibuktikan, tetapi telah ditentukan walaupun ceritanya belum dimulai. Ilmu ekonomi bukan hanya mempelajari tingkat harga, alokasi sumber-sumber tetapi justru mempelajari faktor-faktor yang dianggap tetap (given).
Salah seorang tokoh ekonomi kelembagaan dari inggris yang penting adalah John A. Hobson (1858-1940). Menurutnya, ada tiga kelemahan toeri ekonomi ortodoks, yaitu tidak dapat menyelesaikan maslah full-employment, distribusi pendapatan yang senjang dan pasar bukan ukuran terbaik untuk menentukan ongkos sosial. Beliau tidak setuju adanya unsur ekonomi positif dan normatif karena keduanya tetap memerlukan adanya unsur etika. Timbulnya Imprealsime menurut Hobsoan disebabkan karena terjadinya konsumsi yang kurang dan kelebihan tabungan di dalam negeri, maka diperlukan penanaman modal ke daerah-daerah jajahan. Pengeluaran pemerintah dan pajak dapat mendorong ekonomi ke arah full-employment dan peningkatan pendapatan pekerja dan produktivitas. Dengan semakin meratanya pembagian pendapatan akan mendorong peningkatan produktivitas, yang berarti bisa terhindar dari bahaya adanya resesi.
2.      Aliran Quasai Kelembagaan
      Para tokoh yang masuk di dalam aliran ini adalah mereka yang terpengaruh oleh pemikiran veblen dan kawan-kawannya, para tokoh aliran ini antara lain Joseph Schumpeter, Gunnar Myrdal, dan kenneth Galbraith. Pemikiran schumpeter bertumpu pada ekonomi jangka panjang, yang terlihat dalam analisisnya baik mengenai terjadinya inovasi komoditi baru, maupun dalam mejelaskan terjadinya siklus ekonomi. Keseimbangan ekonomi yang statis dan stasioner seperti konsep kaum ortodoks mengalami gangguan dengan adanya inovasi, Meskipun demikian, gangguan tersebut dalam rangka berusaha mencari keseimbangan yang baru. Inovasi tidak bisa berlanjut kalau kaum wirasawata telah terjebak dalam persoalan-persoalan yang sifatnya rutin.
Sedangkan Galbraith menjelaskan perkembangan ekonomi kapitalis di Amerika serikat yang tidak sesuai dengan perkiraan (prediksi) yang dikemukakan kaum ekonomi ortodoks. Asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh teori ekonomi ortodoks dalam kenyataannya melenceng jauh sekali. Keberadaan pasar persaingan sempurna tidak ada, bahkan pasar telah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan-perusahaan ini demikian besar kekuasaanya sehingga selera konsumen bisa diaturnya.
Pada perusahaan yang besar ini, pemilik modal terpisah dengan manajer profesional dan para manajer ini telah menjadi technostrusture masyarakat. Konsumsi masyarakat telah menjadi demikian tinggi, tetapi sebaliknya terjadi pencemaran lingkungan dan kwalitas barang-barang swasta tidak dapat diimbangi oleh barang-barang publik. Selanjutnya kekuatan-kekuatan perusahaan besar dikontrol oleh kekuatan buruh, pemerintah dan lembaga-lembaga konsumen. Namun demikian, untuk menjamin keberlanjutan perusahan-perusahaan ini, maka pemerintah hendaknya berfungsi untuk menstabilkan perkembangan ekonomi.
3.      Aliran Kelembagaan Baru
Aliran Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional Economics disingkat NIE) dimulai pada tahun-tahun 1930-an dengan ide dari penulis yang berbeda-beda. Menurut Yustika (2006), pada tahun-tahun terakhir ini terjadi kesamaan ide yang mereka usung dan kemudian dipertimbangkan menjadi satu payung yang bernama NIE. Secara garis besar, NIE sendiri merupakan upaya ‘perlawanan’ terhadap dan sekaligus pengembangan ide ekonomi Neoklasik, meskipun tetap saja dapat terpengaruh oleh ideologi dan politik yang ada pada masing-masing para pemikir.
NIE dengan demikian menempatkan dirinya sebagai pembangun teori kelembagaan nonpasar dengan fondasi teori ekonomi Neoklasik. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu tokoh NIE Douglas C. North, bahwa NIE masih menggunakan dan menerima asumsi dasar dari ekonomi Neoklasik mengenai kelangkaan dan kompetisi akan tetapi meninggalkan asumsi rasionalitas instrumental (instrumental rasionality). Oleh karena ekonomi Neoklasik memaki asumsi tersebut menyebabkan menjadi teori yang bebas kelembagaan (institutional-free theory).
NIE selanjutnya memperdalam kajiannya tentang kelembagaan nonpasar, seperti hak kepemilikan, kontrak, partai revolutioner dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena sering terjadi masalah kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar muncul karena terjadinya asimetris informasi, eksternalitas produksi (production externality) dan adanya kenyataan keberadaan barang-barang-barang publik (publik goods). Akibat kealpaan teori ekonomi Neoklasik terhadap adanya kegagalan pasar, maka dilupakan pula adanya kenyataan pentingnya biaya-biaya transaksi (transaction cost). Di samping itu NIE menambah bahasannya tentang terjadinya kegagalan kelembagaan (institutional failure) sebagai penyebab terjadinya keterbelakangan pada banyak negara.
Dengan demikian, ilmu ekonomi kelembagaan kemudian menjadi bagian dari ilmu ekonomi yang cukup penting peranannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan sosial ekonomi, budaya dan terutama ekonomi politik. Ilmu ekonomi kelembagaan terus berkembang semakin dalam karena ditekuni oleh banyak ahli ilmu ekonomi dan ilmu sosial lainnya, termasuk beberapa diantaranya memenangkan hadiah nobel. Penghargaan tersebut tidak hanya tertuju langsung kepada ahli dan orangnya, tetapi juga pada bidang keilmuannya, yakni ilmu ekonomi kelembagaan (Rachbini, 2002).
Para penganut ekonomi kelembagaan percaya bahwa pendekatan multidisipliner sangat penting untuk memotret masalah-masalah ekonomi, seperti aspek sosial, hukum, politik, budaya, dan yang lain sebagai satu kesatuan analisis (Yustika, 2008: 55). Oleh karena itu, untuk mendekati gejala ekonomi maka, pendekatan ekonomi kelembagaan menggunakan metode kualitatif yang dibangun dari tiga premis penting yaitu: partikular, subyektif dan, nonprediktif.
Pertama, partikular dimaknai sebagai heterogenitas karakteristik dalam masyarakat. Artinya setiap fenomena sosial selalu spesifik merujuk pada kondisi sosial tertentu (dan tidak berlaku untuk kondisi sosial yang lain). Lewat premis partikularitas tersebut, sebetulnya penelitian kualitatif langsung berbicara dua hal: (1) keyakinan bahwa fenomena sosial tidaklah tunggal; dan (2) penelitian kualitatif secara rendah hati telah memproklamasikan keterbatasannya (Yustika, 2008: 69).
Kedua, yang dimaksud dengan subyektif disini sesungguhnya bukan berarti peneliti melakukan penelitian secara subyektif tetapi realitas atau fenomena sosial. Karena itu lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber data, dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang “orang dalam” dalam antropologi disebut dengan emic.
Ketiga, nonprediktif ialah bahwa dalam paradigma penelitian kualitatif sama sekali tidak masuk ke wilayah prediksi kedepan, tetapi yang ditekankan disini ialah bagaimana pemaknaan, konsep, definisi, karakteristik, metafora, simbol, dan deskripsi atas sesuatu. Jadi titik tekannya adalah menjelaskan secara utuh proses dibalik sebuah fenomena.
Ekonomi Kelembagaan Di Indonesia
Perkembangan pemikiran ekonomi di Barat turut mempengaruhi studi-studi ekonomi di Indonesia. Beberapa sarjana-sarjana Indonesia lulusan sekolah Barat yang menaruh perhatian terhadap gagasan ini dapat dilacak misalnya, Mubyarto, dengan pemikirannya tentang pengembangan ilmu dan pendidikan ekonomi alternatif yang berpijak pada sistem nilai, sosial-budaya, dan kehidupan ekonomi riil (real-life economy) masyarakat Indonesia. Lincolin Arsyad (2005) dalam penelitiannya Assessing the Performance and Sustainability of Microfinance Institution: The Case of Village Credit Institution of Bali menemukan kinerja Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Gianyar, Bali dipengaruhi oleh kelembagaan yang meliputi lembaga formal dan informal. Ia mencatat bahwa kelembagaan adat memberikan kontribusi dalam kinerja portofolio, leverage, rasio kecukupan modal, produktivitas, efisiensi, profitabilitas, dan kelayakan keuangan LPD.
Ahmad Erani Yustika (2005) lulusan Georg-August-Universität Göttingen, Jerman dengan disertasi Transaction Cost Economics of The Sugar Industry in Indonesia dan juga buku teks “Ekonomi Kelembagaan: Defenisi, Teori, dan Strategi” sehingga tidaklah berlebihan jika Yustika dikategorikan sebagai salah satu pemikir ekonomi kelembagaan di tanah air.
Negara-negara ataupun kawasan yang lebih makmur dewasa ini adalah yang memiliki kelembagaan politik dan ekonomi lebih baik di masa lalu (Hall & Jones, 1999; dan Acemoglu, et.al., 2001). Kemajuan China dan India dewasa ini, dengan segala kekurangannya, bisa dijelaskan dari aspek kelembagaan ini. Juga negara-negara di Asia yang paling dinamis.
Apalagi saat terjadi gelombang krisis keuangan yang menerpa dunia saat ini dimana mainstream ekonomi yang berpijak pada asumsi-asumsi ekonomi klasik membuat pendekatan ekonomi klasik semakin dipertanyakan eksistensinya, karena itu studi ekonomi kelembagaan semakin memperoleh tempat sebagai pendekatan alternatif bagi ekonomi dunia saat ini. Dengan demikian diharapakan ekonomi kelembagaan dapat menjadi eskalaotor perbaiakan ekonomi di Indonesia.
KESIMPULAN
Ekonomi klasik yang mengasumsikan bahwa semua manusia adalah rasional dan bekerja berdasarkan insentif ekonomi ternyata dalam prakteknya banyak faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik yang mempengaruhi individu dalam keputusan ekonominya. Pada titik ini ekonomi kelembagaan masuk untuk mewartakan bahwa kegiatan ekonomi sangat dipengaruhi oleh tata letak antarpelaku ekonomi (teori ekonomi politik), desain aturan main (teori ekonomi biaya transaksi), norma dan keyakinan suatu individu/komunitas (teori modal sosial), insentif untuk melakukan kolaborasi (teori tindakan kolektif), model kesepakatan yang dibikin (teori kontrak), pilihan atas kepemilikan aset fisik maupun non fisik (teori hak kepemilikan), dan lain-lain. Intinya, selalu ada insentif bagi individu untuk berperilaku menyimpang sehingga sistem ekonomi tidak bisa dibiarkan hanya dipandu oleh pasar.
Ekonomi kelembagaan mempelajari dan berusaha memahami peranan kelembagaan dalam sistem dan organisasi ekonomi atau sistem terkait, yang lebih luas. Kelembagaan yang dipelajari biasanya bertumbuh spontan seiring dengan perjalanan waktu atau kelembagaan yang sengaja dibuat oleh manusia. Peranan kelembagaan bersifat penting dan strategis karena ternyata ada dan berfungsi di segala bidang kehidupan.
 Gelombang krisis keuangan yang menerpa dunia saat ini dimana mainstream ekonomi yang berpijak pada asumsi-asumsi ekonomi klasik membuat pendekatan ekonomi klasik semakin dipertanyakan eksistensinya, karena itu studi ekonomi kelembagaan semakin memperoleh tempat sebagai pendekatan alternatif bagi ekonomi dunia saat ini.
Dengan demikian diharapakan ekonomi kelembagaan dapat menjadi eskalaotor perbaikan ekonomi di Indonesia. Sistem ekonomi yang bertujuan mensejahterakan kehidupan rakyat, memberikan kesempatan kepada rakyat untuk berproduktivitas sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki, dan akhirnya harapan para founding fathers bangsa ini tercapai. 
Referensi:
Yustika, Ahmad Erani. 2008. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi. Bayumedia. Malang.
Santosa, Purbayu Budi. 2008. Relevansi dan Aplikasi Aliran Ekonomi Kelembagaan. Dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 9, No.1, Juni 2008,hal. 46-60.
Awan Sentosa, Ekonomi Kerakyatan Urgensi, Konsep, dan Aplikasi, Sekra: 2010
Rachbini, Didik J. 2002. Ekonomi Politik: Paradigma dan Teori Pilihan Publik. Ghalia. Jakarta.
http://icnie.org/

0 komentar:

Posting Komentar